Perbedaan begitu terlihat diantara mereka berdua. Esa populer,
mudah bergaul, pandai, berada, sedangkan Naya, rata-rata. Suatu harapan tinggi
rasanya untuk bisa mendapat simpati Esa. Meskipun pada akhirnya Naya berniat
juga mengambil simpatinya. Icha menawarkan bantuan untuk Naya, namun Naya
memilih untuk tidak melakuakan apa pun yang melibatkan orang lain. Icha memang
gadis yang baik.
Usaha tanpa Icha pun dilakukannya. Yes, berhasil. Tampaknya usahanya
menunjukkan kemajuan, mereka berdua mulai akrab. Tetapi Naya juga tidak tahu
apakah ini hanya kebaikannya terhadap semua orang atau memang saat ini sebagai
perempuan yang ia sedang besar kepala. Entahlah, tetapi keakraban ini membuat
Naya sedikit tenang.
***
Perpisahan yang cukup lama membuat rindu semakin dalam,
meski di dunia yang baru. Akan tetapi dalam lubuk hati selalu tertanam simpati.
Mungkin ini hanya perasaan terbawa karena hutang budi, tetapi rasanya seperti
berbeda, di saat sudah dilalui Naya selama ini.
“Naya, kapan kamu akan main ke rumahku?” tanya Esa padanya.
Benar-benar mengejutkan, apakah aku sedang mendapatkan
undangan spesial? Pikirnya dalam hati. “Tunggu apa lagi” nampaknya hati Naya
sudah tak kuasa menjawab iya secepatnya, tetapi seperti tertahan di mulut.
Naya malah mengucap, “hmm, bolehlah, nanti aku mampir”
dengan nada sedikit bingung seperti salah ucap.
“Oke aku tunggu.” Jawabnya dengan senyumnya yang indah.
Seketika Naya berpikir ulang apakah ia akan pergi berkunjung
ke rumah seorang lelaki, atau sebagai seorang yang berjasa padanya selama ini. Tapi
Naya sudah terlanjur berjanji.
Sore tiba, disempatkanlah bertandang ke rumahnya sebagai
seorang sahabat baik, ya awalnya Esa dan Naya memang saling beranggapan begitu.
Sore ini benar-benar berbeda, Esa mengucapkan hal yang ingin Naya ucapkan
padanya selama ini, tiga kata, tetapi apa yang Naya ucapkan? “Bodohnya aku!”
dalam hati Naya. Naya hanya terdiam, dan tetap menganggapnya sahabat, meskipun
rasa ini benra-benar dalam merasuk ke jiwa sekian lama.
“Aku tidak bisa.” Ucap Naya. Ia hanya merasa persahabatan
ini indah, hanya ingin kamu bilang begitu ketika benar-benar besok mempersuntingku,
katanya dalam hati. Semua kenyataan berbeda dengan harapan. Mungkin saja Esa
kecewa, begitu pun Naya. Tetapi kata-kata Naya tadi tak bisa ditarik kembali.
***
Tahun telah berganti, harapan masih dipendam, yang perlahan
muncul membayangi mimpi, hati, di setiap bunyi dering pesan singkat. Intensitas
berkurang, ini seperti pelajaran fisika, ketika tahu bahwa dua kutub adalah
sama, maka akan bergerak menjauh.
“Naya, kamu masih ingat Esa?” pesan singkat dari Icha.
“Tentu, ada apa?” tanyaku penasaran, karena menurutku ini
aneh.
“Aku sedang dalam hubungan....” Icha menceritakan semua
hingga panjang lebar padaku.
Perasaan Naya membeku, haru, bingung, risau, sedih. Kini Esa
memilih Icha, setelah Naya memutuskan untuk tetap menjadi sahabatnya. Icha
sungguh beruntung, bahkan ia merasa terpesona atas ketulusan yang dilihatnya
kali ini, tidak sepert dulu. Esa memang mempesona, Naya membenarkan
pendapatnya. Akhirnya bersamalah mereka, laksana cinta pertama dalam film
drama, yang memuncak di ujung kisah, meninggalkan Naya dalam kubangan pilu dan
kecewa.
Naya semakin sedih ketika Esa tidak pernah mau jujur
padanya, apakah ia memang benar merasa takut menyakiti atau ingi bersembunyi
semua pesona Esa seolah hilang dalam benak Naya, lenyap karena komitmen Naya
tidak seperti yang sekarang Esa lakukan pada Icha. Harus rela, meski ia tak
pernah mengakui, sampai Naya yang harus memulai ketika mengetahui semua agar
tetap terjaga hubungan baik anatara mereka bertiga.
***
Icha adalah cinta pertama Esa, Esa cinta pertama Naya,
begitu berkutat dengan hal-hal tak terduga. Waktu telah menumbuhkan dan
menghilangkan perasaan simpati antara manusia. Naya sempat menyesali hal itu,
tetapi apa yang Esa jalani sama halnya dengan remaja kebanyakan. Icha adalah gadis
baik, yang setara dengan Esa. Ia pantas mendapatkan yang terbaik pula. Sampai kapan
akan jujur, itu adalah misteri, Naya pergi merantau. Lekatnya ikatan
persahabatan perlahan kendur, ketika salah satu kian menghindar. Saling menghindar
mungkin jalan terbaik, atau merasa seolah tidak terjadi apa pun. Karena Esa
telah menunjukkan semuanya, meskipun hanya tersirat.
0 comments:
Posting Komentar