Bulan Ramadhan
adalah bulan penuh berkah, maka baik jika diisi dengan kegiatan yang
bermanfaat, sehingga menambah kedekatan kita pada Allah swt. Kegiatan bisa
berupa acara pengajian, tilawah Al-Qur’an, tahfidzul Qur’an, mengajar mengaji,
dauroh, dzikir, I’tikaf, buka bersama, dll.
Nah, pada kesempatan menjelang
liburan sekolah bulan Ramadhan, ada kegiatan Dauroh Ilmiah di SDIT Nur Hidayah
yang menghadirkan beberapa pembicara, diantaranya adalah Ustadz Susiyanto, M.
Ag, Ustadz Abdul Hakim, dan seorang pemuda hafidz Qur’an bernama Muhammad Aufa
Aulia. Apa sih dauroh itu? Dauroh dari kata daara-yaduuru-dauroh artinya
mengelilingi, tempat, acara. Jadi, dauroh ilmiah artinya acara membahas tentang
pengetahuan, keilmuan ilmiah.
Sesi pertama diisi dengan pembahasan
topik Rekonstruksi Sejarah Islam
Indonesia. Memang sedikit berbeda
dengan topik yang ditulis dalam background
acara, namun intinya ke arah rekonstruksi Islam dalam pembelajaran. Ini karena
Ustadz Susiyanto akan menjelaskan mengenai konsep-konsep sejarah, narasi sejarah
di Indonesia yang ditengarai ada upaya memarginalkan peran Islam dalam sejarah.
Yuk simak beberapa hal yang bisa saya rangkum dalam dauroh itu.
Kalau kita ingat dalam masa kecil
kita, dongeng yang sering diperdengarkan pada murid-murid adalah dongeng Si
Kancil Mencuri Ketimun. Inti dari dari dongeng ini bukannya menyuruh kita untuk
menjadi licik atau pencuri. Akan tetapi mengajarkan kita untuk tidak menjadi
orang bodoh karena akan dibodohi orang pintar. Nah dalam hal ini kancil saja
dapat membodohi manusia, haha, cerdiknya. Ternyata dongeng ini juga ditulis
lebih mendalam seperti pada Serat Kancil, bahkan dongeng ini terkenal di Melayu
juga dengan judul Hikayat Si Kancil.
Seperti halnya dongeng si kancil,
dongeng Malin Kundang juga bukan berbicara tentang menjadi anak durhaka atau
ibu yang jahat karena mengutuk anaknya menjadi batu, tetapi berpesan agar anak
manusia tidak durhaka pada orang tua terutama ibu. Apabila kita pikirkan,
dongeng memang tidak nyambung dengan fakta. Lain dengan sejarah, sejarah adalah
kisah manusia yang benar terjadi di masa lalu.
Jika diulas, sejarah dari bahasa
arab Syajaro artinya pohon. Dalam bahasa Indonesia berarti silsilah; asal usul;
kejadian yang benar terjadi di masa lalu; bermakna juga ilmu, pengetahuan,
cerita atau riwayat di masaa lampau. Berbeda dengan kisah, karena kisah kurang
memiliki nilai sejarah tinggi.
Pernah kita
membaca sejarah yang disusun dari penyusun sekuler maka akan sulit dipahami.
Perlu kita ketahui bahwa narasi sejarah tersusun berdasarkan:
1.
Data
2.
World view—kepentingan—misi
Misalnya sejarah yang disusun Kristen—ditampilkan lah
Kristen
Seperti halnya pelajaran sejarah di Indonesia disusun
atas kepentingan tertentu.
Pemisahan
Islam dari Bangsa
Berbicara
tentang sejarah, perlu kita ketahui bahwa selama ini telah terjadi upaya
pemisahan Islam dari bangsa. Apa saja data yang kita punya?
1.
Identifikasi Dayak dan Papua
sebagai Kristen. Perlu diketahui bahwa sejak penjajahan Belanda, suku Dayak
dipisahkan (diasingkan) dari komunitas muslim dan orang Melayu, sehingga mereka
tidak mengenal komunitasnya akibat pengasingan tersebut.
2.
Pengaburan status Betawi
sebagai warga muslim. Komunitas Betawi sejak pra-pengIslaman, masa kerajaan
Salakanagara terbentuk komunitas Betawi yang tidak diidentikkan dengan muslim
tetapi Hinduisme.
3.
Pengaburan status bahwa suku
Sunda itu muslim. Padahal di sana adat keIslaman kental tetapi seakan
tertutupi.
4.
Penginjilan di Minang. Basis Islam
yang kental di sumatera diinjilkan besar-besaran.
Distorsi
1.
Pengaburan identitas orang
Indonesia sebagai penganut Islam
2.
Manipulasi karya sastra
Manfaat sejarah dengan cara pandang Islam
1.
Menguatkan akidah dan keyakinan
terhadapa Islam. Karena banyak teladan dan komitemen berkaitan dengan Islam di
masa lalu.
2.
Belajar sunnatullah. Ini sangat
dianjurkan, dapat memperoleh pahala.
3.
Belajar masa depan. Dari
sejarah dapat dipetik pelajaran masa kini dan mendatang.
Pelajaran
sejarah di Indonesia
Bagaimana
dengan pelajaran sejarah yang kita dapatkan di sekolah umum di Indonesia?
Kebanyakan mengajarkan hal yang cukup sulit dinalar dengan akal sehat, terlebih
lagi adalah sejarah yang dijelaskan mengandung unsur pemisahan Islam dalam
sejarah di Indonesia. Mari kita bahas bebrapa diantaranya.
1.
Manusia purba
Manusia Indonesia yang
hadir pada masa sebelum penjajahan sampai dengan sekarang adalah masyarakat
yang berpindah-pindah, berasal dari keturunan Deutro Melayu dan Proto Melayu
yang tidak sama dengan Pithecantropus
Erectus yang sekarang di pajang di museum Sangiran. Dan mungkin akan banyak
warga Jawa yang tidak setuju jika mereka disamakan dengan Pithecantropus Erectus
2.
Era Hindu dan Budha
Terdapat banyak manipulasi
dalam era ini. Karena lebih banyak membahas mengenai apa agama Hindu dan agama
Budha itu? Pembahasannya banyak yang normatif karena lebih kepada agama Hindu
dan Budha pada zaman ini bukan zaman dahulu. Pada agama ini terdapat sistem
kepercayaan yaitu Budha Shiwa aliran
Bhairawa. Yang sangat terkenal adalah ritual ma lima. Jika di zaman
sekarang kita kenal moh limo yang berarti dilarang makan daging haram, miras,
main perempuan, dsb, akan tetapi ma lima di sini adalah mengerjakan lima ritual
M, yang merupakan aplikasi perilaku dalam ajaran. Diantaranya Matsiya (ikan),
Manuya (daging), Mada/Madya (miras), Mudra (gadis/tarian), Maithuna (upacara
seksual). Nah, berikut penjelasannya.
1)
Matsiya (ikan), ini bukannya
dilarang untuk memakan ikan, tetapi justru ritual makan ikan beracun. Dengan
memakannya, akan muncul efek tubuh yang terkena racun, atau mabuk, sehingga
dipercaya dapat menghilangkan kesadaran (jiwa kosong) yang dalam ketidaksadaran
itu akan mendekatkan manusia dengan Tuhan (isi). Ini seperti yang sering kita
dengar bahwa ada perkataaan kosong adalah isi, isi adalah kosong.
2)
Manuya (daging), sekali lagi
bukan larangan memakan danging, tetapi ritual makan daging manusia. Daging yang
dipersembahkan biasanya adalah pengantin, gadis atau pria lajang yang kemudian
disembelih dan dimakan bersama-sama. Penyembelihan ini dlakukan di meja datar
berbentuk kura-kura, karena pada masa itu kura-kura di anggap sebagai
penjelmaan tertinggi dari Tuhan.
3)
Mada/Madya (miras), digunakan
sebagai alat untuk menjadikan diri tidak sadar, mirip pernyataan pada ritual matsiya.
Konon akibat ritual ini, pesohor kerajaan Hindu kalah dalam perang melawan
serangan Belanda.
4)
Mudra (gadis/tarian), tarian
atau gerakan tangan yang menimbulkan kekuatan magis yang membuat lupa diri.
5)
Maithuna (upacara seksual),
dilakukan di sebuah padang di atas tempat pemakaman yang disebut setra. (Prof. Rasyidi, Islam dan
Kebatinan, hal.94)
Upaya
Perawatan Peninggalan Bersejarah
Mari kita
cermati dengan adanya banyak peninggalan sejarah di Indonesia. Perawatan
peninggalan Hindu Budha tidak sama dengan peniggalan Islam,yang notabene
mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam.
Siapa yang
tidak mengetahui Candi Borobudur di Magelang, yang merupakan salah satu dari
keajaiban dunia. Candi borobudur ditemukan tahun 1814, dan pernah terkubur
selama 8 abad. Ketika belum ditemukan, bentuk ini tak menyerupai candi
melainkan sebuah gunung yang ditumbuhi pohon menjulang. Selama itu tidak ada
yang menceritakan bahwa di sana ada sebuah bangunan megah tempat ibadah, dan
baru timbul cerita setelah ditemukan.
Lain halnya
dengan Candi Prambanan yang ditemukan tahun 1797 oleh Belanda yang pada saat
itu akan membangun benteng dan mencari lokasi yang tak terawat dan menjadi
tempat sampah. Jika pribumilah pemiliknya, tidak mungkin akan melakukan
pembiaran tempat itu dijadikan tempat sampah dan tidak terawat. Ini berarti ada
cerita baru di balik penemuan candi di Indonesia.
Beda dengan
peninggalan Islam seperti Masjid Demak yang dibiarkan dimakan usia. Jika Anda
pernah berkunjung ke sana, dapat ditemui sebagian besar bangunannya sudah tidak
asli, yang asli hanyalah bagian pintu depan dan belakang, serta tiang-tiang
penyangga. Hal ini disebabkan pengaburan identitas Islam dalam sejarah, yang
membuat pola pikir, mengidentikkan bahwa kerjaan Islam adalah penghancur. Pada faktanya
kerajaan Islam tidak pernah menghancurkan peninggalan yang ada kecuali alam
yang memakannya. Bukti bahwa sebenarnya masyarakat pra kemerdekaan Indonesia
adalah muslim yaitu ditemukannya peninggalan Majapahit berupa nisan yang
lambangnya mirip dengan lambang Muhammadiyah pada saat ini, kemudian terdapat
nisan bertuliskan Laa ilaha illallah terukir amat jelas. Untuk dapat
melihatnya, silakan berkunjung ke Troloyo, Trowulan, Mojokerto.
Candi yang
merupakan peninggalan masa Hindu Budha, dibangun untuk kepentingan kasta-kasta
tinggi seperti Brahmana dan Ksatria, untuk menunjukkan seberapa besar
kekuasaannya. Dalam candi terdapat relief yang berupa wujud lelaki yang berdiri
membawa mangkuk dan belati yang menjelaskan bahwa pada era tersebut ada upacara
minum darah, dengan menggunakan belati untuk menyayat darah dari ulu hati
kemudia menyayta mengikuti tulang rusuk dan darahnya ditampung dalam pangkuk
untuk diminum bersama-sama.
Perawatan
patung kecil dapat menghabiskan anggaran tidak kurang dari Rp 5.000.000,00 per
bulan, namun untuk sebuah masjid yang juga situs sejarah sangat disayangkan
tidak mendapat perhatian yang seimbang.
Oleh karena itu
terus digalakkan penggalinan agar ditemukan candi atau menyerupai candi baru
sebagai situs sejarah baru. ini yang harus diwaspadai terutama umat Islam,
karena para frontalis pernah ber statement
bahwa penggalian ditujukan untuk mengombang-ambingkan antara memilih Islam
atau kebudayaan sebelumnya.
Bhineka
Tunggal Ika
Sebuah semboyan
yang tidak asing lagi tentunya. Tentu kita akan memaknainya berbeda-beda tetapi
tetap satu jua. Perlu diketahui bahwa semboyan ini memiliki arti lain, kita
telaah dari kata Bhi yang maknanya dua, Bhineka—dua hal yang berbeda, bukan
berbeda-beda, dan yang dimaksud dua hal yang berbeda ini adalah Hindu dan Budha
yang beda dalam pengajarannya tetapi keduanya tetap harus disatukan. Nah,
sekarang jadi tau kan, akan tetapi dalam pelajaran sejarah kita yang sudah ada
unsur pemarginalan Islam, kita dipaksa harus menulis jawaban yang benar dalam ujian
lho, dengan pernyataan berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Jangan sampai kita sebagai penganut Islam
terombang-ambing oleh hal yang abu-abu, bahkan menyingkirkan sejarah yang
sesungguhnya. Kita harus rajin membaca riwayat yang sumber referensinya terpercaya,
atau dari narasumber langsung, sehingga akan terungkap naskah sejarah yang asli
dan tidak dimanipulasi untuk kepentingan tertentu sebgaian orang.
0 comments:
Posting Komentar